Kesenian Sisingaan adalah salah satu ikon budaya khas Kabupaten Subang, Jawa Barat. Bagi masyarakat Subang, nama Sisingaan tidak sekadar pertunjukan, tetapi juga representasi identitas daerah. Asal-usulnya dapat ditelusuri sejak awal abad ke-20, terutama ketika masyarakat Sunda mengalami masa kolonialisme Belanda dan Inggris.
Baca juga : Kemenangan Persib Bandung acl two Harapan Nasional
Baca juga : Supardi Nasir legenda persib lapang hijau
Baca juga : Inovasi Kendaraan Umum di Bandung
Baca juga : Gunung Dempo Mahkota Sumatera Selatan
Baca juga : sosok bripka ambarita ketegasan dinamika karier
Baca juga : Gaya hidup rrq lemon sang king midlen
Pada masa itu, rakyat Subang dikenal sebagai petani yang hidup sederhana, namun mereka juga memiliki kesadaran budaya yang tinggi. Kesenian lahir sebagai bentuk hiburan, media sosial, bahkan simbol perlawanan.
Awalnya, kesenian ini disebut Gotong Singa atau Jampana. Jampana berarti tandu atau usungan yang digunakan dalam upacara adat untuk membawa barang-barang pusaka atau orang penting. Lambat laun, bentuknya dimodifikasi menjadi usungan dengan hiasan singa tiruan dari kayu dan kain. Singa dipilih bukan tanpa alasan: ia merepresentasikan hegemoni kolonial—karena simbol singa terdapat dalam lambang negara Belanda maupun Inggris.
Dengan demikian, masyarakat Subang menggunakan kesenian ini sebagai sindiran halus. Singa yang ditunggangi seorang anak kecil melambangkan bahwa generasi muda mampu “menaklukkan” kekuasaan penjajah. Dari sinilah Sisingaan lahir bukan hanya sebagai seni pertunjukan, tetapi juga alat komunikasi politik rakyat jelata.
2. Filosofi, Makna Simbolis, dan Nilai Budaya
Sisingaan sarat dengan makna filosofis. Patung singa yang diusung bukan sekadar boneka mainan. Ia mencerminkan:
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/1425510/original/074440400_1480827704-20161204-Arak-arakan-Singa-Jaipong-dalam-Kita-Indonesia-Fery-Pradolo-6.jpg)
http://www.leclosmargot.com
- Perlawanan terhadap kolonialisme – Patung singa adalah simbol penjajah, dan anak kecil yang duduk di atasnya melambangkan keberanian rakyat untuk “mengendalikan” singa tersebut.
- Gotong royong – Empat orang pemikul bahu (penggotong) yang mengusung singa menggambarkan nilai kerja sama. Tanpa kekompakan, usungan tidak akan stabil.
- Regenerasi – Anak kecil yang dinaikkan biasanya anak yang baru saja disunat. Prosesi ini sekaligus tanda bahwa ia memasuki fase kedewasaan, didukung oleh masyarakatnya.
- Kehidupan harmonis – Dalam iringan musik gamelan Sunda, tari, dan nyanyian, terlihat keharmonisan antara gerakan, irama, dan kebersamaan.
Nilai budaya ini menegaskan bahwa Sisingaan bukan sekadar hiburan khitanan, tetapi warisan kearifan lokal masyarakat Subang yang mengandung pendidikan moral, sosial, dan spiritual.
3. Struktur Pertunjukan Sisingaan
Sisingaan adalah perpaduan dari berbagai elemen seni: musik, tari, teater rakyat, dan seni rupa (patung singa). Berikut komponennya:
a. Properti Utama
- Patung Singa: Terbuat dari kayu, bambu, rotan, dilapisi kain, cat, dan bulu tiruan.
- Jampana / Tandu: Rangka yang menopang singa, biasanya berbentuk persegi panjang dengan empat tongkat untuk diangkat.

b. Pemain
- Anak yang dikhitan: Duduk di atas singa, mengenakan pakaian adat Sunda atau kostum pangeran.
- Penggotong (4 orang atau lebih): Mereka menari sambil mengusung singa, melakukan gerakan atraktif, bahkan terkadang berputar cepat.
- Pemusik (waditra): Menggunakan kendang, gong, kempul, kecrek, suling, serta kadang tambahan modern seperti organ.
- Penari tambahan: Ada juga yang menari di depan barisan untuk memeriahkan suasana.
c. Formasi
Biasanya satu kelompok memiliki 4–8 patung singa. Mereka akan diarak keliling kampung dengan formasi barisan. Semakin banyak singa, semakin meriah.
d. Musik Iringan
Musik yang digunakan adalah degung Sunda atau jaipongan. Irama rancak menjadi penanda kapan penggotong harus melakukan gerakan akrobatik (misalnya mengangkat tandu tinggi, menggoyang keras, atau berputar).
e. Durasi Pertunjukan
Pertunjukan bisa berlangsung 1–3 jam, tergantung panjangnya rute arak-arakan.
4. Fungsi Sosial, Pendidikan, dan Ekonomi
Sisingaan memiliki fungsi multifungsi dalam kehidupan masyarakat Subang:
- Fungsi Sosial – Menjadi media silaturahmi antarwarga, memperkuat rasa kebersamaan saat arak-arakan.
- Fungsi Pendidikan – Mengajarkan nilai gotong royong, disiplin, seni musik, tari, dan kearifan lokal pada generasi muda.
- Fungsi Ekonomi – Banyak grup Sisingaan disewa untuk acara khitanan, penyambutan tamu, festival budaya, bahkan wisata. Harga sewanya pun menjadi sumber pendapatan seniman lokal.
- Fungsi Ritual – Utamanya dalam upacara khitanan, pertunjukan ini menjadi bagian sakral, simbol doa dan restu bagi anak yang dikhitan.
5. Rumah Kesenian / Sanggar Sisingaan

Walaupun belum ada gedung besar bernama resmi “Rumah Kesenian Sisingaan,” sebenarnya istilah ini bisa dimaknai sebagai sanggar atau kelompok kesenian Sisingaan yang tersebar di berbagai desa di Subang.
Setiap sanggar biasanya:
- Memiliki koleksi patung singa, kostum, dan alat musik.
- Menjadi tempat latihan rutin bagi penggotong dan pemusik.
- Berfungsi sebagai pusat regenerasi, di mana anak muda diajari cara mengusung, menari, dan memainkan musik.
Contoh beberapa kelompok Sisingaan terkenal di Subang:
- Sisingaan Rancage
- Sisingaan Gotong Singa
- Sisingaan Seni Rakyat Subang
Sanggar-sanggar inilah yang sebenarnya bisa disebut “Rumah Kesenian Sisingaan.” Mereka menjaga kelangsungan tradisi dan mewariskan pengetahuan antargenerasi.
6. Peran Pemerintah, Komunitas, dan Pariwisata
Pemerintah Kabupaten Subang telah menetapkan Sisingaan sebagai ikon budaya daerah. Beberapa langkah yang dilakukan antara lain:
- Festival Sisingaan: Digelar secara rutin, menampilkan puluhan kelompok dengan ratusan patung singa di jalan utama kota.
- Promosi Pariwisata: Sisingaan digunakan sebagai atraksi utama dalam paket wisata budaya Subang.
- Pendidikan: Dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah.
- Dukungan materi: Bantuan alat musik, kostum, atau patung singa kepada sanggar-sanggar.
Selain pemerintah, komunitas lokal dan budayawan juga aktif mendokumentasikan, meneliti, dan mengajarkan kesenian ini.
7. Tantangan dan Upaya Pelestarian di Era Modern
Seiring perkembangan zaman, Sisingaan menghadapi tantangan serius:
- Kompetisi dengan hiburan modern: Anak-anak lebih suka organ tunggal, dangdut, atau musik digital.
- Kurangnya regenerasi: Banyak anak muda kurang tertarik menjadi penggotong karena dianggap melelahkan.
- Komersialisasi: Kadang esensi budaya tergeser hanya menjadi tontonan sewaan.
- Keterbatasan dukungan finansial: Tidak semua sanggar mendapat bantuan.
Namun ada juga upaya kreatif:
- Membuat pertunjukan Sisingaan dalam bentuk miniatur untuk wisatawan.
- Menggabungkan musik tradisional dengan instrumen modern.
- Mempromosikan melalui media sosial dan YouTube.
- Menjadikan Sisingaan sebagai maskot Kabupaten Subang dalam berbagai event nasional.
8. Fakta-Fakta Unik tentang Sisingaan

- Resmi menjadi ikon Subang – Hampir semua kantor pemerintahan di Subang memiliki ornamen Sisingaan.
- Satu-satunya di dunia – Tidak ada daerah lain yang punya kesenian sejenis, meski mirip dengan “Reog Ponorogo” atau “Ondel-Ondel.”
- Bisa diisi lebih dari satu anak – Kadang ada dua anak duduk di atas satu singa.
- Atraksi akrobatik – Beberapa kelompok menampilkan gaya ekstrem, misalnya memutar singa di atas kepala.
- Festival Sisingaan terbesar – Pernah digelar dengan lebih dari 200 patung singa sekaligus di Subang.
- Warisan budaya takbenda – Ditetapkan sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia oleh Kemendikbud.
Rumah Kesenian Sisingaan Subang” bisa dimaknai sebagai ruang budaya kolektif tempat kesenian Sisingaan hidup, berkembang, dan diwariskan. Baik berupa sanggar, komunitas, maupun festival, semuanya menunjukkan bahwa Sisingaan adalah jantung budaya Subang.
Lebih dari sekadar hiburan khitanan, Sisingaan adalah simbol perjuangan, gotong royong, pendidikan, serta identitas kultural yang memperkuat kebanggaan masyarakat Subang.
Meski menghadapi tantangan modernisasi, kesenian ini tetap eksis karena dukungan komunitas, pemerintah, dan kecintaan masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan “Rumah Kesenian Sisingaan” dalam arti luas menjadi sangat vital untuk menjaga warisan budaya agar tidak punah.